Abu Sufyan bin Harb terkenal sebagai salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliah.
Dia seorang saudagar terkenal, banyak mengenal keinginan pasar. Sebagai
tokoh masyarakat Quraisy, ia banyak mengetahui gaya hidup masyarakatnya.
Ia juga seperti yang dikatakan banyak orang, antara lain al-'Abbas bin
Abdul Muththalib, senang dipuji dan dibanggakan orang.
Ia dilahirkan sepuluh tahun sebelum terjadinya penyerbuan tentara gajah
ke Mekkah. Ia sering memimpin kafilah perdagangan kaum Quraisy ke negeri
Syam dan ke negeri 'ajam (selain Arab) lainya. Ia suka keluar dengan
membawa panji para pemimpin yang dikenal dengan 'Al-'Uqab". Panji itu
tidak dipegang melainkan oleh pemimpin Quraisy. Kalau terjadi
peperangan, panji itu pun hanya dipegang olehnya.
Putranya, Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiallâhu 'anhu adalah seorang
penulis wahyu. Ia pernah diangkat menjadi gubernur negeri Syam sebelum
pemerintahan Khalifah Umar ibnul-Khaththab radhiallâhu 'anhu. Putrinya,
Ramlah binti Abu Sufyan radhiallâhu 'anha. (Ummu Habibah), adalah istri
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam . Dan termasuk salah seorang dari
Ummahaatul Mukminin radhiallahu 'anhunna.
Ummu Habibah, istri Abdullah bin Jahsy, pergi berhijrah ke negeri
Habasyah bersama dengan suaminya. Di negeri nun jauh itu tiba-tiba
suaminya tergoda masuk agama Nashrani. Karenanya, ia minta cerai.
Sesudah berakhir 'iddahnya, Raja Najasyi memanggilnya seraya berkata
kepadanya, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah menulis surat
kepada saya untuk mengawinkan anda dengan beliau" .
Ramlah lalu berkata, "semoga Allah akan menggembirakan dan membahagiakan Paduka tuan juga!"
Ramlah pun akhirnya menjadi isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Ketika Abu Sufyan mendengar berita perkawinan puterinya itu dengan
Rasulullah, ia berkata, "Unta jantan ini semoga tidak dipotong
hidungnya!"
Abu Sufyan mendengar dakwah yang dikumandangkan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam dan ternyata dia merupakan orang yagn paling gigih
melawan dan memeranginya. Dia pernah juga menyertai delegasi kaum
Quraisy yang dikirim menemui Abu Thalib, meminta kepadanya supaya mau
menyerahkan keponakannya (Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam) untuk
disembelih oleh mereka, dengan syarat akan menggantikannya dengan
seorang pemuda Quraisy lainya yang mereka pandang lebih mendatangkan
keberuntungan bagi mereka semua.
Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy
lainnya terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum
muslimin, dengan mendatangkan surat pernyataan memblokade Bani Hasyim,
yaitu tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual-beli dengan mereka.
Tiba saatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin
pergi berhijrah ke Madinah. Ternyata, kaum muslimin hidup aman dan
berbahagia di negeri yang tentram ini.
Pada suatu saat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui
bahwa Abu Sufyan sedang dalam perjalanan dari Syam ke Mekkah, memimpin
kafilah dagang kaum Quraisy, kaum yang selama lebih dari sepuluh tahun
telah menyiksa dan menyengsarakan mereka, yang telah mengusir mereka
keluar dari negerinya dan juga merampas harta kekayaannya. Abu Sufyan
sendiri terlibat dalam perbuatan jahat dan keji itu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memberitahukan hal itu, terutama
kepada kaum Muhajirin, "Kafilah dagang Quraisy di bawah pimpinan Abu
Sufyan segera akan melintasi daerah kita. Marilah kita keluar
mencegatnya. Barangkali Allah akan menggantikan apa-apa yang telah
mereka rampas dari kita dahulu!"
Ketika tiba di perbatasan Hijaz, Abu Sufyan mulai dirundung firasat
tidak enak. Ia selalu bertanya kepada setiap orang atau kafilah yang
datang dari jurusan Madinah dengan perasaan was-was dan takut. Akhirnya
ia mendengar dari salah satu sumber yang meyakinkan bahwa Muhammad telah
mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat kafilah yang dipimpinnya.
Abu Sufyan lalu membayar seorang kurir untuk mengirimkan kabar tentang
hal itu ke kota Mekkah, namanya Dhamdham bin Amru al-Ghifari. Dalam
pesannya itu, ia berharap supaya kaum Quraisy mengirimkan pasukannya
untuk melindungi kafilah yang dipimpinnya dari serangan Muhammad dan
para sahabatnya.
Ternyata diluar dugaan, Abu Sufyan berhasil menempuh jalan keluar dari
kepungan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Ia segera mengirim
kurir yang lain untuk menemui kaum Quraisy yang hendak melindungi
kafilahnya. Ia berkata, "Kalian keluar untuk menyelamatkan kafilah,
harta, dan orang-orang kalian. Kini, semuanya itu sudah diselamatkan
oleh Allah. Kami harap kalian segera kembali ke Mekkah".
Abu Jahal berkata kepada anggota pasukannya , "Demi Allah, kami tidak
akan kembali hingga sampai ke Badar. Disana, kami akan berdiam tiga hari
tiga malam, bersuka ria, memotong ternak, makan-makan, minum-minuman
keras, dan wanita menyanyi dan menari agar bangsa Arab mendengar dan
mengetahui perjalanan dan berkumpulnya kami, dan senantiasa menakuti
kami. Ayo jalan terus!"
Terjadilah peperangan di Badar antara pasukan yang dipimpin Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam dan pasukan yang dipimpin Abu Jahal. Dalam
peperangan itu, Abu Jahal dan banyak tokoh Quraisy lain tewas, dan
banyak juga yang tertawan. Diantara yang tertawan itu adalah Abul 'Ash
bin ar-Rabi', suami Zainab binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
. Kaum Quraisy mengirimkan tebusan untuk pembebasan para tawanannya,
sedangkan Zainab binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
mengirimkan liontin pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwalid.
Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melihatnya, lalu ia
bersabda kepada para sahabatnya dengan penuh haru, "Kalau kalian ridha
melepaskan tawanannya dan mengembalikan hartanya, silahkan!"
Mereka menyambutnya, "Baiklah, ya Rasulullah!"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam meminta janji Abul 'Ash bahwa ia
akan melepaskan putrinya, Zainab, pergi ke Madinah. Untuk itu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah mengirimkan Zaid bin
Haritsah dan seorang lainnya dari orang Anshar untuk mengawalnya.
Rasulullah bersabda kepada orang itu, "Kalian berdua hendaklah menunggu
kedatangan Zainab di Lembah Ya'jaj kemudian menyertainya hingga datang
ke sini".
Sesudah Abul 'Ash tiba di Mekkah, ia langsung memerintahkan Zainab
(isterinya) pergi ke Madinah untuk menyusul ayahnya. Sesudah
keberangkatannya dipersiapkan, ia meminta kepada saudaranya, Kinanah bin
ar-Rabi', untuk mengawal keberangaktan isterinya itu. Kinanah berangkat
di siang hari dengan mengendarai unta, membawa panah dan busurnya,
sedangkan sayyidatina Zainab di atas haudaj.
Keluarnya Zainab ini sempat membuat ketegangan di kalangan kaum Quraisy
yang baru kalah perang di Badar. Mereka mengejarnya dan berhasil
menyusulnya di suatu tempat yang bernama Dzi Thuwa. Orang yang pertama
berhasil mengejarnya ialah Hubar bin al-Aswad bin Abdul Muththalib bin
Ased.
Kinanah dengan cekatan menghadang Hubar seraya berkata, "Demi Allah,
jangan ada yang mendekati kami. Kalau tidak, aku tidak ragu-ragu
melepaskan panahku ini". Orang-orang pun menjauh darinya.
Tak lama setelah itu, Abu Sufyan datang dengan rombongannya hendak
melerai kedua rombonga itu. Ia berkata: "Kinanah! Masukkanlah anak
panahmu. Kami akan berbicara denganmu". Ia pun lalu memasukkan anak
panahnya ke sarungnya.
Abu Sufyan lalu menasehatinya: "Kamu tidak tepat membawa keluar wanita
itu di siang hari, padahal kamu tahu benar apa yang telah dilakukan
Muhammad terhadap tokoh kita di Badar baru-baru ini. Dengan mengeluarkan
putrinya di siang hari dari tengah-tengah kita, akan menimbulkan
anggapan pada masyarakat bahwa kita melakukannya dalam keadaan hina dan
lemah. Kami tidak berkepentingan untuk memisahkannya dari ayahnya, namun
kami ingin wanita itu dibawa dahulu ke Mekkah, sampai suara-suara yang
membicarakan kekalahan perang di Badar itu usai, barulah kamu membawanya
keluar secara diam-diam.
Kinanah membawa Zainab kembali lagi ke Mekkah. Sesudah beberapa malam,
ketika pembicaraan Quraisy tentang kekalahannya sudah mulai mereda,
barulah ia membawa keluar dengan diam-diam dan menyerahkannya kepada
Zaid bin Haritsah dan rekannya itu.
Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufyan telah bertindak bijaksana sekali
hingga dapat mengekang amarah kaum Quraisy yang sedang berkobar-kobar
dan sekaligus berhasil juga memenuhi keinginan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam untuk mengirimkan putrinya ke Madinah.
Belum setahun dari kekalahanya di Badar, kaum Qurasiy telah berhasil
mengarahkan kabilah-kabilah yang ada di sekitar Mekkah untuk emerangi
Muhammad. Abrang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkan dari
akum muslimin dahulu itu diapakai sebagfai modal utama untuk membiayai
peperangan yang akan mereka lancarkan. Pasukan dipimpin oleh Abu Sufyan
sendiri. Ia Keluar dengan isterinya, Hindun binti Utbah.
Ternyata, dalam peperangan itu, kaum Quraisy meraih kemenangan karena
pasukan panah kaum muslimin melanggar perintah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam untuk tidak meninggalkan kedudukannya di atas Bukit
Uhud. Allah Ta'ala ingin memelihara kaum muslimin yang akan mengemban
tugas menyebarkan agama-Nya ke seluruh penjuru dunia, agar mereka
senantiasa bersatu padu, tidak bercerai berai, dan selalu kompak dan
patuh pada perintah pimpinannya.
Sesudah peperangan usai, Abu Sufyan naik ke atas puncak Gunung Uhud
seraya berteriak dengan suara keras, "Peperangan berakhir dengan seri,
Perang Badar dengan perang Uhud. Pujalah Dewa Hubal, agamamu telah
menang!"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Wahai Umar, jawablah
mereka dan katakanlah, 'Allah Maha Agung. Mayat orang-orang kami di
surga dan mayat orang-orang kalian di api neraka".
Sesudah Umar menjawab pertanyaannya, Abu Sufyan berkata kepadanya, "Wahai Umar, mari Anda ke sini!"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada Umar, "Hampirilah, Umar! Apa maunya?"
Umar pergi menghampirinya, lalu Abu Sufyan bertanya, "Saya mohon
kepadamu, wahai Umar apakah pasukan kami telah membunuh Muhammad ?"
Umar menjawab, "Demi Allah, tidak. Dia mendengar bicaramu itu hingga kini".
Ia lalu berkata dengan tegas: "Saya lebih percaya kepadamu daripada
Ibnu Qamiah, yang mengatakan ia telah berhasil membunuh Muhammad!"
Sewaktu ia akan kembali pulang, Abu Sufyan mengatakan lagi, "Kita akan bertemu lagi di tahun yang akan datang di Badar".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan salah seorang
sahabat untuk menjawab tantangan Abu Sufyan itu, "Katakanlah kepadanya,
kami akan sambut tantanganmu".
Abu Sufyan kembali dengan pasukannya. Di tengah jalan, ada seorang yang
berkata kepada mereka, "Kita memang telah membunuh banyak pimpinan
tertinggi kaum muslimin. Akan tetapi, mengapa kita tidak menumpas
sisa-sisanya agar tidak memberikan kesempatan hidup lagi kepada mereka?"
Abu Sufyan termakan oleh pendapat itu. Akan tetapi, belum sempat ia
memutar kepala kudanya, ia melihat Ma'bad bin Ma'bad al-Khuza'i datang
dari arah uhud. Abu Sufyan lalu bertanya kepadanya, "Ada kabar apa,
wahai Ma'bad?"
Ia menjawab, "Muhammad dan kawan-kawanya sedang mengejar-ngejar kalian
dengan pasukan yang tiada taranya. Orang-orang yang tidak ikut berperang
bersamanya, kini sedang berkumpul dan menyesali diri. Mereka dengan
perasaan marah akan mengejar kalian dan membalas dendam atas kekejaman
yang derita kawan-kawannya".
Abu Sufyan mengigil ketakutan. Ia bertanya, "Celaka, Apa katamu?"
Ma'bad berkata lagi, menegaskan: "Menurut pendapat saya, sebaiknya kalian cepat-cepat pulang kembali!"
Abu Sufyan berkata kepadanya: "Sesungguhnya kami berniat akan kembali dan menumpas sisa tokoh mereka yang masih hidup".
Ma'bad menasehati mereka, "Saya menasehatimu, janganlah Anda melakukannya!"
Setelah mendengar nasihat Ma'bad, mereka cepat-cepat kembali pulang ke Mekkah.
Abu Sufyan telah mengerahkan pasukannya dan mendatangkannya untuk
menyerang kaum muslimin di Uhud. Dia juga telah bertindak sebagai
panglima tertinggi dalam peperangan ini sehingga banyak sahabat pilihan
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang tewas karenanya, bahkan ia telah
berjanji akan melancarkan serangan lagi tahun depan.
Lalu, apa yang mungkin dilakukan sedangkan kekayaan, perlengkapan, dan pasukan mereka tidak terbilang banyaknya?
Memang Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Lahab sudah tewas. Kalau
Abu Sufyan termasuk orang yang tewas juga tentu keadaan akan berubah
jauh, tentu banyak orang yang menganut Islam dengan terang-terangan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bermusyawarah dengan para
sahabatnya tentang Abu Sufyan; ternyata banyak diantara mereka yang
memberikan saran supaya dibunuh saja. Ia bertanggung jawab atas
tewasanya para sahabat pilihan di medan Uhud. Jadi, kalau ia di bunuh,
ini hanya merupakan qishas semata-mata, bukan suatu tindakan kejahatan.
Rasululklah Shallallahu 'alaihi wasallam puas atas hasil musyawarah itu.
Akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memutuskan untuk
mengirimkan Amru bin Umayyah ad-Dhamri dan seorang dari golongan Anshar
pergi ke Mekkah untuk membunuh Abu Sufyan.
Kedua orang itu pergi memenuhi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Amru menceritakan misinya, "Saya keluar bersama rekan saya yang kurang
sehat. Saya membawanya diatas untaku hingga mencapai Lembah Ya'jaj,
tidak jauh dari Mekkah.
Aku berkata kepada rekanku: "Kita tinggalkan unta kita disini dan kita
pergi mencari Abu Sufyan dan membunuhnya. Kalau kamu melihat sesuatu
yang mengkhawatirkan, cepat-cepat pergi ke tempat unta itu dan kembali
menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan ceritakan apa-apa
yang telah terjadi kepadanya, tidak usah memikirkan aku'.
Kami memasuki kota Mekkah. Aku menyandang sebilah Khanjar (belati). Aku
sengaja persiapkan kepada siapa-sapa saja yang menghalang-halangiku.
Rekanku berkata kepadanya, 'Apakah tidak sebaiknya kita Thawaf dahulu
dan Shalat dua raka'at?'
Saya menjawabnya, 'Biasanya penduduk kota Mekkah duduk-duduk di halaman rumah mereka dan saya mengenali mereka'.
Kami memasuki Baitullah, lalu kami thawaf dan shalat dua raka'at disana,
kemudian kami keluar dan melewati tempat mereka duduk-duduk. Ternyata,
sebagian dari mereka mengenaliku, lalu berteriak sekeras-kerasnya, 'Itu
Amru bin Umayyah'.
Penduduk kota Mekkah keluar mengejar kami dan berkata:' dia tidak datang melainkan utnuk melakukan suatu kejahatan'.
Aku berkata kepada rekanku, 'Selamatkan dirimu!'
Kami melarikan diri keatas gunung, lalu memasuki sebuah gua. Kami
bermalam dua hari dua malam disana, menunggu keadaan tenang. Tiba-tiba
Utsman bin Malik dengan menunggang kuda ada di pintu goa. Saya keluar
dan menikamnya dengan khanjarku. Dia berteriak dengan sekeras-kerasnya
sehingga penduduk Mekkah datang menghampirinya, sedangkan saya kembali
bersembunyi. Mereka menemukannya sudah dalam keadaan sekarat. Mereka
bertanya kepadanya, 'Siapa yang menikammu?'
Dia menjawab, 'Amru bin Umayyah,' lalu ia menghembuskan napas
terakhirnya dan tak sempat memberitahukan kepadanya tempat
persembunyianku. Kini mereka disibukan mengurusi mayatnya sehingga tidak
sempat mencari tempat persembunyianku. Aku tinggal di gua itu dua hari
lagi sampai keadaan menjadi benar-benar tenang.
Setelah itu, kami keluar menuju Tan'im, suatu tempat yang tidak jauh
dari Mekkah. Disana, saya menemukam mayat Khubaib tergantung diatas
sebuah kayu; disekitarnya terdapat beberapa orang pengawal. Saya
menurunkan mayatnya, lalu memanggulnya. Belum sampai empat puluh langkah
dari tempatnya, mereka sadar dan mengejar saya. Saya meletakkan mayat
Khubaib dan melarikan diri, sampai mereka tidak mengejarku lagi. Adapun
rekanku telah kembali dengan mengendarai untanya dan menceritakan
apa-apa yang dilihatnya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
mengenai mayat Khubaib, sejak saat itu tidak terlihat lagi, seolah-olah
telah di telan bumi".
Dikisahkan bahwa Abu Sufyan berkata kepada Khubaib ketika hendak
dibinihnya, "Ya Khubaib, maukah kau kalau menggantikan tempatmu
sekarang, akan kami penggal batang lehernya sedangkan aku duduk dengan
keluargaku."
Abu Sufyan terheran-heran, "Belum pernah aku melihat ada seseorang yang
mencintai seseorang lebih dari sahabat Muhammad mencintai Muhammad." Dia
pun lalu dibunuhnya.
Sudah menjadi takdir Allah Ta'ala bahwa Abu Sufyan tidak mati terbunuh.
Misi 'Amru bin Umayyah gagal untuk membunuhnya. Abu Sufyan hidup dan
berkesempatan untuk mengerahkan para kabilah Arab untuk memerangi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Kali ini, ia bertujuan untuk
menyerang kota Madinah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mencium
rencana jahat mereka, lalu baginda memerintahkan kaum muslimin untuk
menggali parit sesuai dengan saran Salman al-Farisi radhiallâhu 'anhu.
Begitu parit itu selesai digali, pasukan Quraisy dibawah pimpinan Abu
Sufyan tiba, tetapi mereka tidak berhasil menerobos kota Madinah. Mereka
mendirikan perkemahannya di luar parit itu. Pada saat itu, kaum
muslimin menghadapi musuh baru dari Madinah yaitu kaum Yahudi. Pada
waktu itu Huyai bin Ahthab datang menemui Ka'ab bin Asad, pimpinan baru
Quraizhah. Dia sudah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam atas nama kaumnya. Ia lalu menutup pintu bentengnnya
dan tidak memberi izin kepada Huyai untuk memasukinya, seraya berkata,
'Kau seorang yang sial. Saya sudah mengadakan perjanjian dengan Muhammad
dan ternyata dia tetap setia dengan perjanjiannya itu".
Huyai menjawab, "wahai Ka'ab, saya datang membawa berita gembira dan
kemuliaan abadi. Saya datang kepadamu dengan membawa pimpinan Quraisy
dan Ghathafan. Mereka sudah berjanji kepadaku untuk tidak akan
meninggalkan negeri ini sebelum menumpas Muhammad dan para sahabatnya".
Ka'ab menjawab: "Kalau begitu, kau telah mengundang kehinaan abadi!"
Celaka kau, wahai Huyai, biarkanlah aku bersama dengan Muhammad!"
Akan tetapi, Huyai tidak membiarkan Ka'ab melepaskan diri dari
cengkramanannya, sampai ia mau melanggar perjanjian yang telah dibuat
dengan Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam . Dia mengadakan perjanjian
dengan Huyai, "Kalau sampai Quraisy dan Ghathafan kembali dan tidak
berhasil menumpas Muhammad, saya akan berjanji memasuki bentengmu dan
hidup senasib dengan kau!"
Pada saat itu, kaum muslimin menderita ketakutan yang luar biasa karena
harus menghadapi dua front: Quraisy dan Ghathafan dari luar serta Yahudi
Bani Quraizhah dari dalam, seperti yang dilukiskan dalam Al-Qur'an:
"(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan
ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai
ketenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam
purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan
(hatinya) dengan goncangan yang sangat." (QS. Al-Ahzab: 10-11)
Malapetaka ini terjadi karena lebih dari dua puluh malam, kedua pasukan
yang sudah berhadapan itu tidak dapat berbuat selain menggunakan
panahnya masing-masing. Tiba-tiba Nu'aim bin Mas'ud al-Asyja'i datang
menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai
Rasulullah, aku ini sudah masuk Islam, tetapi kaumku belum ada yang
tahu. Perintahlah aku sesuka hatimu".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Kamu hanya sendirian.
Lakukanlah apa yang mungkin kamu lakukan untuk menyelamatkan kami
karena peperangan itu tipu daya".
Nu'aim lalu pergi menemui tokoh-tokoh bani Quraizhah. Kebetulan di zaman
jahiliyyah, mereka bersahabat . Nu'aim berkata kepada mereka: "kalian
sudah mengetahui hubungan baik antara aku dan kalian".
Mereka menjawab: "Memang, kami tidak mempunyai kecurigaan sedikitpun terhadapmu".
Lalu, sambungnya lagi, "Kalian telah membela Quraisy dan Ghathafan
melawan Muhammad padahal mereka tidak senasib dengan kalian. Negeri ini
adalah tanah airmu; disana terdapat kekayaan, anak-anak, dan
isteri-isterimu, dan kalian tidak mungkin bisa meninggalkan semua itu,
sedangkan Quraisy dan Ghathafan, kalau mereka melihat kemenangan, mereka
akan ribut, kalau mereka melihat lain dari itu, mereka akan melarikan
diri ke negeri mereka dan meninggalkan kalian menjadi makanan empuk
Muhammad dan kalian pasti tidak akan sanggup melawannya. Janganlah
kalian memeranginya sebelum kalian mendapat jaminan dari tokoh-tokoh
mereka agar kalian yakin bahwa mereka tidak akan meninggalkan kalian
sebelum mereka berhasil menumpas Muhammad".
Mereka menjawab, "Sungguh, nasihatmu itu tepat sekali!"
Kemudian Nu'aim pergi menemui Abu Sufyan dan tokoh Quraisy lainya,
seraya berkata, "Kalian sudan mengetahui hubungan baikku dengan kalian
dan kerengganganku dengan Muhammad. Saya mendengar bahwa Bani Quraizhah
menyesali tindakannya dan mereka telah mengirim delegasi kepada Muhammad
dan menanyakan, 'Apakah Anda mau menerima kalau kami meminta jaminan
tokoh-tokoh Quraisy dan Ghathafan, kemudian kami serahkan kepada Anda
untuk dipenggal batang leher mereka, kemudian kami dan anda memperkuat
persahabatan yang telah ada?"
Tampaknya, tawaran mereka itu diterima baik. Jadi, kalau mereka meminta
jaminan tokoh-tokoh kalian, janganlah kalian memenuhinyya meskipun hanya
seorang saja".
Nu'aim lalu pergi menemui pimpinan Ghathafan dan berkata, "Kalian
terbilang keluarga dan familiku sendiri". Ia lalu memperingatkan mereka
seperti yang disampaikan kepada pimpinan Quraisy.
Begiru Nu'aim pergi, Abu Sufyan mengirimkan delegasinya dibawah pimpinan
Ikrimah bin Abu Jahal untuk menemui pimpinan Bani Quraizhah, seraya
berkata kepada mereka, "Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kita harus
segera melancarkan peperangan untuk menumpas Muhammad".
Ternyata jawaban mereka persis seperti yang dikatakan Nu'aim, "Kami
tidak bersedia berperang bersama dengan kalian kecuali kalau kalian mau
memberi jaminan yang meyakinkan kepada kami. Kami khawatir, kalian akan
segera kembali ke negeri kalian dan membairkan kami menjadi umpan
Muhammad sedang kami berada di negerinya".
Delegasi Ikrimah kembali dari perkampungan Bani Quraizhah dengan tangan
hampa. Ia menyampaikan kepada Abu Sufyan semua yang didengarnya. Lalu,
sambut Abu Sufyan, "Demi Allah benar sekali apa yang dikatakan Nu'aim
bin Mas'ud!"
Abu Sufyan lalu mengirimkan jawaban tegas kepada Bani Quraiszah, Demi
Allah kami tidak akan menyerahkan tokoh-tokoh kami seorangpun juga!"
Berkata tokoh Bani Quraizah yang menerimannya, "Sungguh tepat apa yang dikatakan Nu'aim bun Mas'ud kepada kami".
Allah Ta'ala mengacau-balaukan rencana jahat mereka, sementara itu, ke
perkemahan Quraisy dan Ghathafan dikirimkan angin kencang yang
memporak-porandakan kemah dan perlengkapannya, seperti yang dilukiskan
Al-Qur'anul Karim:
"Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah
dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami
kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu
melihatnya.Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan."
(QS. Al-Ahzab: 9)
Abu Sufyan kabur kembali dengan pasukannya ke Mekkah. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam pada saat itu bersabda, "Kini kami yang
akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kami lagi".
Ternyata sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam itu tepat sekali,
perjanjian damai antara Quraisy dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam berhasil ditandatangani.
Dalam kesempatan baik ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
mengirimkan surat dan delegasinya ke seluruh penjuru bumi, mengundang
raja-raja dan kepala negaranya untuk masuk agama Islam. Diantara
surat-suratnya itu ada yang dikirimkan kepada Heraclius, Kaisar
Bizantium, yang dibawa oleh Dahyah al-Kullabi.
Konon, Kaisar bersedia menerima tawaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam itu, namun baginda khawatir terhadap reaksi rakyatnya.
Ketika Heraclius ada di negeri Syam kebetulan banyak pedagang dari
Mekkah sedang berdagang di sana. Mereka telah dihadapkan kepada baginda
beberapa orang, antara lain Abu Sufyan. Heraclius mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepadanya seraya berkata: "Saya akan bertanya
kepadamu. Kalau ia berbohong, sangkallah!"
Abu Sufyan berkata mengenang peristiwa itu: "Kalau saya tidak khawatir
dicap pembohong, tentu saya akan berbohong kepadanya. Saya ditanyai
tentang Nabi, saya berusaha memperkecil perannya, namun baginda tidak
menghiraukan keterangan saya itu, lalu tanyanya tiba-tiba:
"Bagaimana kedudukan keluarganya di antara kalian?"
"Keluarganya terbilang keluarga bangsawan".
"Apakah ada diantara keluarganya yang mengaku Nabi?"
"Tidak!".
'Apakah ada hak-haknya yang pernah kalian rampas?"
"Tidak".
"Siapa para pengikutnya?"
'Mereka terdiri atas para orang lemah, miskin, dan anak muda'.
'Apakah para pengikutnya mencintai dan mematuhinya, atau meninggalkannya?"
"Tidak ada yang mengikutinya lalu meninggalkannya".
"Bagaimana peperangan yang terjadi antara dia dan kamu?"
"Sekali kami menang dan sekali lagi dia yang menang".
"Apakah dia pernah berbuat curang?"
"Saya tidak pernah mencurigainya. Kini, kami sedang berdamai dengan dia, namun kami tidak saling curiga".
Heraclius berkata lagi: "Saya bertanya kepadamu tentang nasabnya, Anda
mengatakan bahwa dia terbilang keluarga bangsawan dan begitulah para
nabi umumnya".
Saya bertanya kepadamu, apakah ada diantara keluarganya yang mengaku nabi, Anda mengatakan tidak.
Saya bertanya kepadamu, apakah ada hak-haknya yang kalian rampas, lalu dia bangkit untuk menuntutnya, anda mengatakan tidak.
Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, anda mengatakan mereka
terdiri atas para mustadh'afiin dan fakir miskin, dan memang begitulah
pengikut para rasul.
Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, apakah mereka
mencintainya atau meninggalkannya, anda mengatakan bahwa para
pengikutnya mencintainya dan tidak ada yang meninggalkannya. Begitulah
lezatnya keimanan apabila sudah memasuki kalbu seseorang, tidak akan
sudi keluar lagi.
Saya bertanya kepadamu, apakah ia pernah melakukan kecurangan, anda
menjawab tidak. Kalau Anda mau percaya, dia pasti akan menaklukkan bumi
yang ada dibawah telapak kakiku ini. Rasanya aku ingin sekali mencuci
kedua kakinya. Nah, kini, silahkan anda melakukan tugas-tugas Anda!'
Selanjutnya, Abu Sufyan berkata: 'Aku keluar dari hadapan Kaisar
Heraclius dengan rasa takjub, lalu berkata: 'Sungguh menakjubkan keadaan
Ibnu Abi Kabsyah ini (yakni Muhammad). Kaisar Romawi merasa takut
kekuasaannya akan terancam".
Akan tetapi, mengapa Abu Sufyan tidak cepat masuk Islam? Apakah ia ragu-ragu akan kejujuran Muhammad?
Raja Romawi tidak mengingkari kenabian Muhammad. Malah, kalau ia ada dihadapannya, tentu ia akan mencuci kedua kakinya.
Sesungguhnya, rintangan utama yang menghalang-halangi Abu Sufyan masuk
Islam tidak lain hanyalah soal kekuasaan dan kewibawaan, yaitu
kepemimpinan Quraisy. Dia Khawatir semuanya itu akan jatuh ke tangan
Muhammad, sampai ada diantara mereka yang nekat berkata: "Ya Allah, jika
betul (Al Qur'an) ini, dialah yang benar di sisi-Mu, maka hujanilah
kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab pedih".
(QS.al-Anfaal: 32)
Ternyata Allahlah yang menentukan segalanya itu. Abu Sufyan tidak lama
memegang tampuk kepemimpinan atau tongkat komando. Sungguh benar apa
yang dikatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa Quraisy
sesudah perang Khandaq tidak akan mampu menyerang kaum muslimin lagi,
tetapi giliran kaum musliminlah yang akan menyerang mereka untuk
menaklukkan kota Mekkah.
Memang benteng kaum kafir dan musyrik itu harus dikikis habis dari muka bumi.
Abu Sufyan mengetahui benar apa tujuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam menaklukkan kota Mekkah. Kali ini, ia pergi seorang diri tanpa
pasukan menuju ke Medinah, tidak membawa senjata dan perlengkapan apa
pun.
Ia pergi ke Medinah dengan penuh rasa gelisah dan ketakutan. Setiba
disana, ia langsung menemui putrinya, Ummu Habibah, isteri Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam ketika ia hendak duduk diatas permadani
yang biasa di duduki oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,
putrinya cepat-cepat menariknya dan menggulungnya.
Abu Sufyan marah sekali atas perlakuan putrinya itu dan berkata, "Apakah
kau lebih menghargai permadani itu daripadaku?". Dia berkata lagi,"
Putriku, sungguh kamu sudah kerasukan setan!" Dia lalu keluar pergi
menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam namun beliau tidak mau
menjawabnya sepatah katapun.
Dia lalu keluar dan pergi menemui Abu Bakar, meminta agar ia mau
membantunya memperlunak sikap Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tetapi
Abu Bakar radhiallâhu 'anhu menjawabnya dengan tegas, "Saya tidak dapat
melakukannya!"
Dia lalu pergi menemui Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu melihat
Abu Sufyan, ia cepat-cepat memasuki kemah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam. Dan memberitahukan hal itu seraya meminta, "Ya Rasulullah,
berikanlah izin kepadaku untuk memenggal batang lehernya!"
Abbas radhiallâhu 'anhu mendahuluinya dan berkata, "Ya Rasulullah, saya sudah melindungi dan menjaminya!"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu memerintahkan, "Bawa
pergilah dia dan bawa kembalilah nanti siang. Kami sudah memberinya
perlindungan".
Siang harinya, Abbas membawa Abu Sufyan menghadap Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam lagi, Rasulullah menegurnya, "Celaka kau, Wahai Abu
Sufyan! Apakah kau belum juga mau sadar bahwa tiada tuhan selain
Allah?".
Abu Sufyan menjawab: "Tentu, hal itu tidak dapat saya menyangkalnya sedikit pun".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menegurnya lagi, "Celaka kau Abu
Sufyan, apakah kau belum juga sadar bahwa saya Rasul Allah?"
Abu Sufyan menjawab, "Kalau soal ini, rasanya dalam jiwaku masih terdapat keberatan sedikit".
Abbas lalu membentaknya, "Celaka kau! Ucapkanlah syahadat dengan sebenarnya sebelum kepalamu berpisah dari tubuhmu" .
Dia lalu mengucapkan syahadatain bersama dengannya; telah menyatakan islamnya juga: Hakim bin Hizam dan Budail bin Warqa'.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu menyuruh Abbas supaya
menahan Abu Sufyan hingga usai parade militer, 'Tahan dia sampai melihat
pawai tentara Allah!"
Abbas berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan senang juga pada pujian. Berikanlah
sesuatu yang ia bisa banggakan kepada kaumnya!"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Siapa yang memasuki
rumah Abu Sufyan, aman; siapa yang memasuki rumah Hakim bin Hizam, aman;
siapa yagn memasuki Masjidil Haram, aman; dan siapa yang menutup pintu
rumahnya, dia juga aman!"
Selanjutnya, Abbas bin Abdul Muththalib berkata, "Saya mengajak Abu
Sufyan duduk diatas sebuah puncak gunung, lalu pawai tentara Allah itu
mulai bergerak di hadapan kami, rombongan demi rombongan: Kabilah Aslam,
Juhainah, barisan Muhajirin dan Anshar, dan seterusnya. Setelah Abu
Sufyan melihat pameran kekuatan itu, ia berkata, 'Sungguh besar kerajaan
anak saudaramu itu!"
Saya menjawabnya, 'Celaka kau. Ia bukan kerajaan, tetapi kenabian!'
Abu Sufyan berkata, 'Benar juga!'
Abbas lalu memerintahkan kepada Abu Sufyan supaya segera kembali ke
Mekkah dan memperingatkan kaumnya jangan sampai mereka melanggar
perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam segera pulang kembali ke kota Mekkah.
Setiba di Masjidil Haram, keduanya berteriak-teriak memanggil kaumnya,
Wahai kaum Quraisy, pasukan Muhammad telah datang dengan kekuatan yang
tidak terbilang besarnya".
Keduanya berkata lagi, "Siapa yang memasuki rumahku, dia akan aman;
siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan aman; siapa yang menutup
pintunya, dia akan aman. Wahai kaum Quraisy, masuklah Islam, kalian akan
selamat!"
Allah Ta'ala menakdirkan Abu Sufyan masuk Islam dan menjadi penyeru
Islam. Orang yang selama bertahun-tahun menjadi panglima kaum musyrikin,
kini sudah menjadi seorang tentara Allah. Ayah Mu'awiyah radhiallâhu
'anhu, penulis wahyu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kini sudah
masuk Islam. Kini, ia ikut serta menyebarkan agama Islam ke seluruh
penjuru bumi yang jauh.
Ayah Ummu Habibah, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sudah masuk
Islam. Ayah Yazid bin Abi Sufyan, kini sudah masuk Islam. Isterinya pun,
yang dinyatakan sebagai salah seorang penjahat perang, telah masuk
Islam juga, malah ia telah menghancur luluhkan berhala yang ada
dirumahnya, seraya berkata, "Selama ini, kami tertipu oleh kamu!"
Kehidupan Abu Sufyan berjalan mulus dalam pengkuan Islam. Sejarah tidak
mencatat sesuatu yang berarti kecuali sesudah wafatnya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam ketika kaum Muhajirin dan Anshar mengadakan
rapat di Saqifah Bani Saa'idah untuk memilih Khalifah kaum muslimin.
Ali bin Abu Thalib radhiallâhu 'anhu tidak menghadiri bai'at itu karena
sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
Ternyata kaum muslimin telah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang menyatakan beriman kepada dakwah
Rasulullah, orang pertama yang mempercayainya ketika kembali dari Isra'
dan Mi'raj. Ia berkata kepada orang membawa berita itu kepadanya,
"Kalau dia (Muhammad) sudah mengatakan demikian, tentu beritanya itu
benar!"
Dia adalah kawan senasib dan sependeritaan dengan Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam ketika berada dalam gua, ketika keduanya hendak
berhijrah ke Madinah.
Pada saat-saat kritis seperti itu, Abu Sufyan tampil kepermukaan seraya
berkata, "Tampaknya, melihat pencemaran yang sulit dihapus kecuali
dengan darah, Wahai keturunan Abdi Manaf. Apa hak Abu Bakar menangani
urusanmu?"
Ia lalu datang kepada 'Ali bin Abi Thalib seraya mengulurkan tangannya dan berkata, "Ulurkan tanganmu, saya akan membai'atmu!".
'Ali bin Abi Thalib membentaknya seraya berkata kepadanya, "Kamu tidak
menghendaki dari perbuatan itu selain untuk membangkitkan fitnah. Saya
tidak butuh nasihatmu!"
Dalam perang Yarmuk, ia ingin menebus semua dosanya terhadap Islam dan
kaum muslimin. Ia berperang mati-matian sampai salah satu matanya
tercongkel.
Ia meninggal dunia pada tahun 33 Hijrah di usia 88 tahun pada zaman
Khalifah Utsman bin Affan radhiallâhu 'anhu. Jenazahnya dishalati oleh
putranya, Mu'awiyah, dan dikuburkan di Baqi'.
Sebab turunya ayat
Menurut Muhammad bin Ishaq dan murid-muridnya, ketika Abu Sufyan
berhasil menyelamatkan kafilah Quraisy dari Muhammad Shallallahu 'alaihi
wasallam dan para sahabatnya, sementara tokoh-tokoh Quraisy yang ingin
melindungi kafilah itu berhasil diterwaskan dalam perang Badar, maka
timbullah inisiatif Abu Sufyan untuk mengobarkan peperangan yang lebih
dahsyat terhadap kaum muslimin dengan mengerahkan pasukan yang lebih
besar dan terlatih, dan menghimpun dana yang lebih banyak, termasuk
hasil penjualan barang dagangan dari kafilah yang berhasil
diselamatkannya itu. Ia berkata kepada kaumnya: "Wahai kaum Quraisy,
sesungguhnya Muhammad telah membunuh tokoh-tokoh kalian maka dukunglah
kami untuk menuntut balas dengan harta yang dapat kami selamatkan ini".
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk
menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta
itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan.
Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.
Supaya Allah memisahkan (golongan) buruk dari yang baik dan menjadikan
(golongan) yang buruk itu sebagiannya diatas sebagian yang lain, lalu
kesemuanya ditumpukkan-Nya dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahanam.
Mereka itulah orang-orang yang merugi". (QS. Al-Anfaal: 36-37)
Renungan
Dirirwayatkan oleh 'Urwah bin az–Zubair bahwa Aisyah pernah bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam :"Ya Rasulullah, apakah
engkau pernah merasa menghadapi kesulitan lebih dahsyat dari pada Perang
Uhud?"
Beliau menajwab, "Aku telah menghadapi berbagai kesulitan yang lebih
dahsyat dari kaummu, terutama ketika aku menawarkan Islam pada hari
Aqibah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, namun dia tidak menjawab
sepatah katapun. Kemudian, aku pergi dengan perasan pedih dan sedih. Aku
tidak sadar, tiba-tiba aku tiba di Qarnits Tsa'alib. Ketika aku
mengangkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat awan sedang memayungiku dan
mendengar Jibril memanggilku, 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah
mendengar omongan kaummu dan reaksi mereka terhadap tawaran-tawaranmu,
dan Dia telah mengirimkan Raja Pegunungan kepadamu agar kamu
memerintahkan kepadanya apa yang kamu inginkan terhadap kaummu itu!"
Ujar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam selanjutnya: "Lalu, Raja
Pegunungan itu mengucapkan salam kepadaku dan berkata, 'Ya Muhammad,
Allah Ta'ala telah mendengar omongan-omongan kaummu terhadapmu. Aku Raja
Pegunungan, Rabbmu telah mengutusku kepadamu untuk diperintahkan sesuai
dengan yang kamu inginkan. Kalau kamu mau, aku akan menimpakan
pegunungan ini di atas mereka!'
Aku menjawab, 'Tidak, malah aku berharap Allah Ta'ala akan melahirkan
dari mereka itu orang-orang yang akan menyembah Allah dan tidak musyrik
sedikitpun kepada-Nya".
Siapa gerangan mereka selalu menghalang-halangi penyebaran dakwah dan
menyakiti hati Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam itu? Siapa gerangan
orang yang senantiasa menyiksa kaum mustadh'afin di Mekkah dan
lain-lain, setelah mereka memaklumatkan Islamnya? Siapa gerangan mereka
yang telah mengusir Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam keluar dari
kampung halamannya dan menghalang-halangi penyebaran dakwahnya?
Sejarah mencatat nama-nama mereka dan tidak akan melupakannya. Mereka
telah mendongakkan kepalanya, menutup rapat pintu hatinya, memejamkan
matanya sehingga tidak melihat cahaya kebenaran memancar di hadapannya,
dan memalingkan perhatian dari tanda-tanda hidayah dan keimanan.
Adapun tokoh-tokoh sesat yang paling terkenal di antara mereka ialah:
Abu Jahal (al-Hakam bin Hisyam), Utbah bin Ra'biah, Syaibah bin Ra'biah,
al-Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Mu'ith dan Abu Sufyan
bin Harb.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mau mengutuk dan mendoakan
kaumnya agar mendapat siksa seperti halnya umat para nabi yang
terdahulu, setelah mereka tetap membangkang tidak mau menyambut dakwah
para nabi mereka.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bisa saja meneladani para nabi
yang sebelumnya, memohon kepada Rabbnya untuk menghukum kaumnya yang
jahat dan angkara murka itu, namun baginda sebagai Nabiyur-rahmah hanya
bisa mengucapkan: " semoga Allah akan melahirkan dari mereka keturunan
yang mengabdikan diri kepada Allah!"
Sejarah telah mencatat juga kepada kita, berapa banyak dari keturunan
mereka orang yang paling gigih memerangi Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam dan agamanya. Begitu juga dengan orang yang telah ikut serta
menyebarkan agama ini ke seluruh penjuru bumi. Mereka sebagai kaum
muslimin, baik sebagai prajurit, panglima, maupun sebagai dai, telah
berhasil menyampaikan agama tauhid ini kepada kita.
Ikrimah bin Abu Jahal radhiallâhu 'anhu sebagai contoh, ketika ia
menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyatakan
Islamnya, ia disambut baginda, "Marhaban, selamat datang kepada sang
musafir yang muhajir!"
Dia berkata, "Ya Rasulullah, ajarilah aku sesuatu yang terbaik yang baginda ketahui supaya aku mengucapkannya!"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan, "Ucapkanlah syahadatain!".
Ikrimah radhiallâhu 'anhu mengucapkan syahadatain, lalu ia memohon ampun
atas dosa-dosanya yang lalu dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
pun memberinya ampun. Kemudian, ia menyatakan janji, "Demi Allah,
berapa besar dana yang telah aku keluarkan selama ini untuk
menghalang-halangi penyebaran agama Allah, kini aku akan menebusnya
dengan pengeluaran yang serupa dalam upaya mengembangkan agamaNya;
berapa besar kegigihanku untuk memenangkan agama dan penganut agama
itu".
Ternyata, kesaksianya itu ia penuhi dengan sebaik-baiknya. Ia berusaha
menjadi ahli ibadah dan agama yang takwa, dan sekaligus menjadi pahalwan
perang yang patut dibanggakan. Akhirnya, ia syahid dalam perang Yarmuk.
Begitu pula dengan Khalid bin Walid radhiallâhu 'anhu, seperti yang
dilukiskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada para
sahabatnya, ketika Khalid masuk Islam. Rasulullah bersabda, "Kota Mekkah
telah melemparkan anak tersayangnya pada kalian!"
Sementara itu, Abu Bakar ash-Shidiq radhiallâhu 'anhu berkata: "Kaum wanita kita belum mampu melahirkan anak seperti Khalid!"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menggelarinya "Saifullah"
(Pedang Allah) terhadap kaum kafir dan musyrik. Tidak ada yang berani di
hadapannya untuk menghadang dakwah kepada Allah.
Begitu pula dengan Abu Sufyan, yang senantiasa menjadi pimpinan
tertinggi Quraisy dalam memerangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam dan kaum uslimin, Allah Ta'ala berkenan kepadanya memberikan
anak-anak yang besar jasanya dalam mengembangkan agama Allah, antara
lain; Yazid bin Abi Sufyan yang digelari "Yazid al-Khair". Ia berperang
di pihak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di Hunain dan mendapat
kemenangan perang di sana sebanyak seratus unta dan empat puluh uqiya
(ukuran emas) yang ditimbangkan oleh Bilal. Dalam pemerintahan Khalifah
Abu Bakar, ia diangkat menjadi seorang pembantunya, dan ketika hendak
pergi ke posnya, Khalifah mengantarnya dengan berjalan kaki.
Diantaranya juga Mu'awiyah bin Abu Sufyan, penulis wahyu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Sunnguh benar apa yang diramalkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bahwa agama Islam akan dimasuki oleh banyak umat secara
beramai-ramai dan berbondong-bondong.
Lalu, mana para tiran yang angkara murka itu? Mana mereka yang dengan
gigih hendak menghalang-halangi penyebaran agama Allah itu? Mana para
penguasa diktator yang mengangkat dirinya sebagai tuhan dimuka bumi,
yang mendekatkan orang yang dicintainya, dan menyiksa serta menganiaya
orang yang dibencinya meskipun tanpa salah dan dosa.
Mana mereka itu sekarang? Mereka sudah pergi setelah menderita
kekalahan, baik karena tewas, maupun terusir, sementara agama Allah
Ta'ala tetap berjaya, panji kebenaran senantiasa berkibar-kibar dengan
megah, sesuai dengan janji-Nya untuk dimenangkan di atas agama-agama
yang lainnya (at-Taubah: 33)
Allah Ta'ala juga sudah berjanji, "Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh". (al-Anbiyaa': 105)
Apakah ada diantara para tiran abad ke-21, para penguasa angkara murka
yang merusak bumi dan merusak semua yang hidup diatasnya, yang mau
merenunginya? Apakah mereka belum juga mau sadar bahwa pada akhirnya
tentara Allah jugalah yang akan meraih kemenangan akhir? Apakah mereka
masih saja belum sadar, sebelum berbagai musibah dan petaka datang
bertubi-tubi menimpa mereka?
Sesungguhnya kemenangan Allah sudah dekat sekali. Pada saat itu kaum mukminin akan bersuka cita atas kemenangan Allah itu.
KISAH HIDUP ABU SOFYAN BIN HARB
Label:
Dunia Islam